Monday, November 26, 2012

Press Pause Play


 "Digital Revolution, Mediocrity, and Democracy"

“slap up their rare  stuff on  facebook, on  youtube, we get lost, we get lost in the ocean of garbage” – Andrew Keen, Press Pause Play

Pertama kali berkenalan dengan film ini adalah ketika saya iseng mengunjungi screening film ini yang diadakan dalam acara Indonesia Netlabel Festival 2012 (INF).  Dari ketidak puasan menonton dalam ruang yang besar dengan banyak orang dan film ini tidak dilengkapi dengan subtitle berbahasa Indonesia maupun Inggris yang  membuat saya agak sulit untuk memahami isinya, saya lalu meminta film ini kepada salah satu panitia untuk dikopi ke dalam flashdisk, dan mencoba memutar film ini secara personal di kamar saya. Butuh berkali-kali menonton bagi saya untuk memahami isi dari film ini karena keterbatasan saya terhadap bahasa.

Ide dasar pada film ini menurut saya sangat menarik, mengingat bahwa ide yang diusung sangat dekat dengan kehidupan kita sekarang, “digital revolution” begitulah dalam film ini disebutkan. Film ini mencoba untuk merekam dan memberikan berbagai prespektif tentang revolusi digital itu sendiri. Bagaimana implikasinya terhadap kehidupan kita terutama dalam hal industri kreatif (musik, film, iklan, desain grafis, dsb). Dalam film ini kita diajak untuk menyelami bagaimana revolusi digital tersebut telah mengubah prespektif masyarakat dalam melihat karya dan proses kreatif. “In older days, twenty until fifty years ago, people didn’t  make a things, so people go to photography, people go buy records and they’re professional artist. Now everyone is photographer, everyone is film maker, everyone is writer, and everybody is musician” begitulah kata moby seorang artis yang diwawancarai di dalam film ini.


Film ini memberikan pandangan yang menurut saya cukup mendalam dan berimbang. Film ini menghadirkan berbagai narasumber dimulai dari jurnalis, artis, penulis, produser musik, komposer, film maker, hingga dosen. Tidak hanya itu mereka (si pembuat film) mencoba menampilkan bahwa revolusi digital telah terjadi dimana saja dengan berkunjung ke berbagai negara di belahan dunia. Kelemahan yang biasa saya temukan pada film dokumenter adalah visual yang terkadang membosankan (meskipun idenya sangat menarik), namun saya tidak menemukan hal tersebut disini. Film ini memadukan antara animasi, pengambilan gambar, dan backsound yang membuat saya duduk manis untuk tetap menontonnya.

Film ini terbagi dari beberapa bagian, yaitu “The Technology Is Great”, “The Industry Is Dead”, “Artist Have The Power”, dan “The Craft Is Gone”. Pada bagian pertama membahas tentang bagaimana teknologi berimplikasi besar terhadap digitalisasi, teknologi telah mengubah pola kerja kreatif dengan mempermudah dan mempersingkatnya yang kemudian berdampak pada matinya industri, karena semua orang sudah dapat memproduksinya sendiri. Dibagian kedua menunjukkan dampak dari digitalisasi dan pengaruhnya terhadap industri kreatif. Dibagian ketiga menunjukkan bagaimana seorang artis dapat mempengaruhi audiens dan digitalisasi telah mempermudah langkah tersebut. Di bagian terakhir menunjukkan bahwa revolusi digital telah mematikan proses-proses pengetahuan dalam proses kreatif, “one of fascinating aspect of digital revolution on creative process is how its separated two and extend knowledge of craft and creativity, you know its like to be a good photographer you had to know how developed your film then print your own film and you had understand how camera works, and now that doesn’t matter” begitulah cuplikan wawancara dalam bagian ini.

Di film ini bagi saya pribadi telah menarik lebih dalam untuk tidak hanya kemudian melihat bahwa revolusi digital adalah sebagai sesuatu yang “wah” atau sebagai sesuatu yang “perlu”, namun sebagai sesuatu yang perlu diwaspadai dan dikritisi. Digitalisasi telah mewadahi demokrasi lebih baik, dimana membuat dan menyatakan sebuah gagasan menjadi lebih terbuka dan dapat diadopsi oleh siapapun. digitalisasi telah menguak cara-cara lama dalam proses yang singkat. Namun di sisi lain digitalisasi telah membawa bola liar sebuah “mediocrity” dalam industri kreatif terutama. “if everybody is musician and everybody making mediocre music and advancely the world covered by mediocrity and people start comfortable with mediocrity” begitulah salah seorang narasumber dari film ini mengatakan. Ya mau tak mau nampaknya kita harus mengamini hal ini.

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwasanya di era digital memang mempermudah langkah kita dalam mencipta, namun ada beberapa yang harus diperhatikan bahwa apakah benar karya kita sudah benar-benar pantas untuk ditampilkan di hadapan publik yang sekarang lebih luas karena jaringan internet atau jangan-jangan kita terbuai dengan karya yang sebenarnya “biasa-biasa” saja. Bagi saya sendiri hanyalah waktu yang dapat mengungkapkannya, karena keseriusan itu benar-benar membutuhkan waktu yang tidak sedikit, setidaknya menurut saya.

Tittle : Press Pause Play
Genre : Documentary
Directror : David Dworsky and Victor Kohler
Duration : 80.48 minute
website : presspauseplay.com


Bisma Hakim
Komunikasi 2010

1 comment:

  1. Setuju dengan kata-kata Bisma bahwa poin yang oke dari film Press pause Play adalah soal Mediocrity. Ketika semua orang dapat berkarya memang hal yang terjadi adalah semacam 'kedangkalan' kualitas, medicrity, biasa-biasa saja. Dan sangat menarik karena hal itu sangat kita ketahui di jurusan komunikasi, dimana semua orang adalah fotogafer, film maker, penulis, kreatif, bahkan musician.

    ReplyDelete