Sunday, October 31, 2010

DIKLAT KINE


Kalian suka film? Pengen tahu tentang film lebih dalam lagi? Pernah bikin film? Atau pengen bikin mencoba bikin sebuah film?
Ayo bergabung dengan Kine. Pendaftaran terbuka bagi anak Komunikasi UGM yang berminat dengan dunia perfilman. Melalui Diklat ini kalian bisa belajar lebih jauh lagi tentang film. Selain itu, kalian juga bakal belajar memproduksi film pendek. Seru kan? Makanya, yuk ikutan. Mari berkarya dalam Film !!! :D

Sunday, October 24, 2010

Merayakan Halloween Bersama Edward Scissorhands


Senin (18/10) lalu, Kine Club Jurusan Ilmu Komunikasi UGM mengadakan agenda rutinnya, yaitu sebuah pemutaran film yang akrab disebut dengan Marmos (Mari Menonton Sinema). Acara yang diadakan setiap dua kali dalam sebulan ini bertujuan untuk memfasilitasi para penikmat film agar dapat menonton fim dengan layar besar di Ruang Multimedia Lantai 3 Gedung Yong Ma. Kali ini film yang diputar adalah Edward Scissorhands. Sebuah film besutan Tim Burton yang diperankan oleh Johnny Depp dan Winona Ryder. Film ini berkisah tentang seorang remaja bernama Edward yang bertangan penuh dengan gunting.

Banyak yang bertanya, mengapa divisi pemutaran, selaku penanggung jawab Marmos memilih film lawas tahun 1990 ini? Alasannya simpel, karena bulan oktober sangat erat kaitannya dengan Halloween, yang selalu dirayakan setiap tanggal 31 Oktober di seluruh dunia. Meski kultur di Indonesia jarang merayakan perayaan tersebut, Kine Club ingin sedikit membawa percikan Halloween pada pemutaran kali ini. Edward Scissorhands memang bukan film ber-genre horor. Namun, dengan melihat tokoh Edward yang bertangan gunting, divisi pemutaran berharap agar para penonton bisa merasakan sensasi Halloween yang identik dengan wajah serta pakaian yang seram.

Pemutaran yang dimulai pukul 09.30 awalnya sepi penonton. Hal tersebut dikarenakan banyak mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang kuliah. Beruntung sekitar pukul 10.30, mahasiswa baru angkatan 2010 berbondong-bondong datang ke acara yang telah dibuat oleh divisi pemutaran sejak dua minggu silam. Marmos kala itu pun dihadiri oleh mahasiswa JPP (Jurusan Politik dan Pemerintahan) juga mahasiswa Jurusan Sosiologi.

Suasana riuh serta tepuk tangan para penonton kian ramai ketika film Edward Scissorhands selesai. Ketika ditanya bagaimana kesan mereka setelah menonton film ini, Gilang (Ilmu Komunikasi 2010) berkomentar, “Filmnya bagus, setting tempatnya juga bagus, padahal cuma di studio.” Ya, itulah salah satu alasan lagi, mengapa divisi pemutaran memilih film ini. Mereka ingin menyajikan film bermutu dengan cerita yang tidak biasa seperti film kebanyakan. Lagipula, banyak diantara mereka yang belum pernah menonton film berdurasi 105 menit ini.

Sebuah acara tidak akan sukses jika tidak memiliki pengunjung atau penonton. Oleh karena itu, Kine Club terutama divisi pemutaran sangat berharap adanya respon positif terhadap acara Marmos yang rutin dibuat ini. Meskipun Marmos terhitung acara kecil, namun jika tidak ada yang berminat datang, acara tersebut akan sia-sia. Dan yang ingin diperjelas sekali lagi, acara ini tidak hanya tertutup bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi saja, semua kalangan pun boleh datang ke acara yang biasa diadakan di Ruang Multimedia ini. Karena film adalah seni, maka setiap orang pun berhak memberi apresiasi.

Merayakan Halloween Bersama Edward Scissorhands

Senin (18/9) lalu, Kine Club Jurusan Ilmu Komunikasi UGM mengadakan agenda rutinnya, yaitu sebuah pemutaran film yang akrab disebut dengan Marmos (Mari Menonton Sinema). Acara yang diadakan setiap dua kali dalam sebulan ini bertujuan untuk memfasilitasi para penikmat film agar dapat menonton fim dengan layar besar di Ruang Multimedia Lantai 3 Gedung Yong Ma. Kali ini film yang diputar adalah Edward Scissorhands. Sebuah film besutan Tim Burton yang diperankan oleh Johnny Depp dan Winona Ryder. Film ini berkisah tentang seorang remaja bernama Edward yang bertangan penuh dengan gunting.

Banyak yang bertanya, mengapa divisi pemutaran, selaku penanggung jawab Marmos memilih film lawas tahun 1990 ini? Alasannya simpel, karena bulan oktober sangat erat kaitannya dengan Halloween, yang selalu dirayakan setiap tanggal 31 Oktober di seluruh dunia. Meski kultur di Indonesia jarang merayakan perayaan tersebut, Kine Club ingin sedikit membawa percikan Halloween pada pemutaran kali ini. Edward Scissorhands memang bukan film ber-genre horor. Namun, dengan melihat tokoh Edward yang bertangan gunting, divisi pemutaran berharap agar para penonton bisa merasakan sensasi Halloween yang identik dengan wajah serta pakaian yang seram.

Pemutaran yang dimulai pukul 09.30 awalnya sepi penonton. Hal tersebut dikarenakan banyak mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang kuliah. Beruntung sekitar pukul 10.30, mahasiswa baru angkatan 2010 berbondong-bondong datang ke acara yang telah dibuat oleh divisi pemutaran sejak dua minggu silam. Marmos kala itu pun dihadiri oleh mahasiswa JPP (Jurusan Politik dan Pemerintahan) juga mahasiswa Jurusan Sosiologi.

Suasana riuh serta tepuk tangan para penonton kian ramai ketika film Edward Scissorhands selesai. Ketika ditanya bagaimana kesan mereka setelah menonton film ini, Gilang (Ilmu Komunikasi 2010) berkomentar, “Filmnya bagus, setting tempatnya juga bagus, padahal cuma di studio.” Ya, itulah salah satu alasan lagi, mengapa divisi pemutaran memilih film ini. Mereka ingin menyajikan film bermutu dengan cerita yang tidak biasa seperti film kebanyakan. Lagipula, banyak diantara mereka yang belum pernah menonton film berdurasi 105 menit ini.

Sebuah acara tidak akan sukses jika tidak memiliki pengunjung atau penonton. Oleh karena itu, Kine Club terutama divisi pemutaran sangat berharap adanya respon positif terhadap acara Marmos yang rutin dibuat ini. Meskipun Marmos terhitung acara kecil, namun jika tidak ada yang berminat datang, acara tersebut akan sia-sia. Dan yang ingin diperjelas sekali lagi, acara ini tidak hanya tertutup bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi saja, semua kalangan pun boleh datang ke acara yang biasa diadakan di Ruang Multimedia ini. Karena film adalah seni, maka setiap orang pun berhak memberi apresiasi.

[Anisa Ika Tiwi]

Thursday, October 14, 2010

Little Miss Sunshine


Little Miss Sunshine merupakan film arahan sutradara Jonathan Dayton dan Valerie Faris. Film berdurasi 103 menit ini menceritakan tentang sebuah keluarga yang terdiri dari Richard Hoover (Greg Kinnear), seorang ayah yang merupakan seorang pengusaha yang selalu melontarkan kenyataan buruk yang malah semakin memperkeruh suasana; Sheryl Hoover (Toni Collate) istri dari Richard yang dengan rasa keibuannya berusaha sabar untuk menghadapi setiap kejadian; Frank Ginsberg (Steve Carell) adik dari Sheryl yang baru keluar dari pusat rehabilitasi karena berusaha bunuh diri ketika mengetahui pasangan homo nya selingkuh; Edwin Hoover (Alan Arkin) ayah dari Richard, seorang pecandu narkoba yang sangat suka berkata kasar dan vulgar, namun sebenarnya sangat sayang dengan keluarganya; Dwayne Hoover (Paul Dano) anak sulung yang bersumpah tidak akan berbicara sampai berhasil masuk akademi penerbangan; dan Olive Hoover (Abigail Breslin) anak perempuan polos yang sangat ingin mengikuti kontes kecantikan “Little Miss Sunshine” di California.

Demi mewujudkan keinginan Olive, keluarga Hoover menuju California. Mereka melakukan perjalanan darat dengan truk kuningnya. Permasalahan dimulai ketika presneling mobil tua mereka rusak. Untuk terus berjalan, keluarga Hoover harus mendorongnya bersama-sama sebelum dinaiki. Tak hanya itu saja, di perjalanan, permasalahan datang silih berganti. Klimaksnya adalah ketika Edwin Hoover meninggal di penginapan dalam perjalanan karena overdosis. Karena Edwin-lah yang sangat ingin Olive mengikuti kontes Little Miss Sunshine, keluarga Hoover akhirnya sepakat untuk membawa mayat Edwin dari rumah sakit untuk terus ke California.

Dalam perjalanan, Olive yang iseng mangambil brosur tes buta warna dari rumah sakit, berusaha mengettes Dwayne. Dari sini keluarga Hoover mengetahui fakta lain bahwa Dwayne buta warna, dan seorang pilot tidak boleh buta warna. Ia merasa stress dan melampiaskannya dengan memaki. Ya, Dwayne kembali berbicara.

Konflik terus terjadi dalam perjalanan meuju California. Keluarga Hoover terus melalui masalah personal yang hanya bisa diselesaikan bersama-sama. Seperti kebanyakan film hollywood, Little Miss Sunshine juga menampilkan ending yang membahagiakan. Namun, kritik pedas terhadap gaya hidup dan sudut pandang seseorang terhadap sesuatu yang terdapat dalam dialog antar tokoh dalam film ini, membuat Little Miss Sunshine mempunyai kekuatan dan seolah-olah menyentil permasalahan kehidupan sehari-hari.

Bila ditelisik, keluarga Hoover merupakan sebuah keluarga disfungsional. Keluarga disfungsional merupakan jenis keluarga yang memiliki banyak konflik. Konflik yang terjadi bisa merupakan suatu perilaku buruk seperti pelecehan seksual terhadap antar anggota keluarganya. Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor. Diantaranya adalah akibat dari kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang. Individu yang tumbuh dalam keluarga ini menganggap hal tersebut adalah sebagai hal yang lumrah dan wajar.

Hal ini juga dialami oleh Dwayne dan Olive. Dibesarkan dengan tekanan dari keluarga, mereka berdua menganggap apa yang terjadi terhadap dirinya adalah hal yang lumrah. Diantara sifat dan perilaku keluarganya yang “luar biasa”, mereka berdua sebagai remaja dan anak kecil berusaha mencari keseimbangan. Dwayne dengan melawannya, dan Olive dengan keluguannya.

Keluarga Hoover memang mempunyai karakteristiknya masing-masing. Walaupun perlakuan mereka yang disfungsional, tapi peranan mereka dalam film ini sangat menegaskan arti keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Melihat sedikit kisah hidup keluarga Hoover, memberikan kita pelajaran dan rasa lebih menghargai terhadap kehidupan, terutama kehadiran keluarga.


MARMOS!

MARMOS (Mari Menonton Sinema) Oktober 2010.
See you there! :)