Friday, October 25, 2013

Mom and Me versus You and Dad

Judul                : The Squid and the Whale
Sutradara         : Noah Baumbach
Produser          : Wes Anderson
Penulis             : Noah Baumbach
Pemeran          : Jeff Daniels, Jesse Eisenberg, Laura Linney, Owen Kline
Tanggal Rilis    : 2005

Judul di atas sebenarnya merupakan line pertama film ini. Line tersebut menggambarkan bentuk tim ketika keluarga Berkman sedang bermain tenis pada adegan pembuka, namun siapa sangka bahwa mom and me versus you and dad kemudian benar-benar terjadi dan membagi keluarga Berkman menjadi dua?
Bernard Berkman (Jeff Daniels) adalah seorang novelis yang mulai mengalami penurunan karir dan lebih disibukkan mengajar sastra di sebuah perguruan tinggi. Sementara itu, istrinya, Joan (Laura Linney), baru saja merintis karirnya sebagai penulis dan menerbitkan tulisannya yang justru meningkatkan ketegangan dengan suaminya. Pertengkaran-pertangkaran terus terjadi, hingga akhirnya sepasang suami istri itu memutuskan untuk bercerai. Mereka memanggil kedua anak laki-laki mereka yang masih berusia remaja, Walt (Jesse Eisenberg) dan Frank (Owen Kline) untuk berkumpul bersama di ruang tengah, dan mengatakan niat mereka untuk bercerai. Karena Bernard kemudian memutuskan untuk menyewa sebuah rumah, ia dan Joan mengatur jadwal pertemuan dengan anak-anak mereka secara bergilir, meskipun pada akhirnya Walt tinggal dan menetap bersama ayahnya, sedangkan Frank memilih bersama ibunya.
Film ini memusatkan perhatian pada perilaku Walt dan Frank sebagai ‘korban’ kasus perceraian. Walt dan Frank menunjukkan perjuangan pribadi dengan cara yang berbeda untuk menangani stres menghadapi perceraian orang tuanya. Pendekatan langsung digunakan film ini untuk menggambarkan kerusakan yang disebabkan oleh perceraian pada anak-anak. Secara jujur, film ini menjelaskan bagaimana kata-kata makian yang sering kali diucapkan anak sebenarnya merupakan cerminan kehidupan sekitarnya, yang dalam hal ini adalah keluarga. Masalah seks juga diperbincangkan, dengan menyoroti masa pertumbuhan remaja yang kurang mendapat pengawasan dari orang tua. Namun film ini tidak hanya berbicara mengenai perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja, tetapi membawa pesan moral yang kuat dan menekankan pada nilai-nilai keluarga.
Meskipun mengisahkan tentang masalah keluarga, film ini bukan film yang layak ditonton oleh seluruh anggota keluarga. Karena mengandung konten seksual, bahasa kasar, dan penggunaan alkohol, maka film ini dikategorikan R (Restricted), yang berarti anak-anak yang masih berusia di bawah 17 tahun tidak diizinkan untuk menonton film ini, kecuali di bawah pengawasan orang tua atau orang dewasa.

Semi-autobiografi Noah Baumbach, sutradara drama-komedi
Noah Baumbach yang memiliki latar belakang keluarga penulis (ayahnya, Jonathan Baumbach, adalah seorang novelis, sedangkan ibunya, Georgia Brown, adalah seorang kritikus film) terinspirasi untuk menulis cerita ini dari pengalaman pribadinya serta perceraian orang tuanya. Persamaan profesi orang tua tidak hanya melahirkan pembicaraan menarik tentang Dickens saat makan malam, namun juga mengundang persaingan, bahkan antara suami dan istri.
Sebagai seorang sutradara, Noah Baumbach tetap bertahan pada spesialisasinya sebagai pengarah film bergaya drama-komedi. Hingga tahun 2012, ia telah menyutradarai tujuh film, dan semuanya adalah film drama-komedi. Namun demikian, film drama-komedi yang ditampilkan bukan sekadar komedi ringan, akan tetapi tetap memuat nilai-nilai kritis kehidupan sosial manusia.
Setelah The Squid and the Whale dirilis pada tahun 2005, Noah Baumbach menyutradarai Margot at the Wedding (2007), Greenberg (2010), dan Frances Ha (2012). Ketiganya juga merupakan film yang beraliran sama dengan The Squid and the Whale.

Aliran black comedy
Dalam beberapa situs khusus film, seperti Internet Movie Database (IMDb), The Squid and the Whale disebut sebagai sebuah film beraliran komedi. Namun demikian, lebih tepat apabila film ini dimasukkan dalam kategori black comedy, yakni sebuah genre komedi yang menggunakan black humor. Istilah black humor berasal dari bahasa Perancis, humour noir. André Breton, seorang teoretikus surealis, pertama kali menggunakan istilah tersebut dalam bukunya yang berjudul Anthology of Black Humor untuk menggambarkan sub-genre komedi dan satir, di mana tawa muncul dari sinisme dan skeptisisme
Yang membedakan black comedy dengan tipikal komedi lainnya adalah unsur-unsur komedik yang disampaikan melampaui tindakan yang hanya menceritakan lelucon, namun berfokus pada komedi situasional. Tujuan dari black comedy adalah untuk meringankan penjelasan mengenai topik-topik serius, tabu, bahkan isu-isu vulgar, seperti kematian, pembunuhan massal, bunuh diri, penyakit, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, penyalahgunaan narkoba, pemerkosaan, perang, terorisme, dan lain sebagainya. Black comedy menawarkan situasi yang tragis, suram, atau aneh sebagai elemen utama plot.
Dalam The Squid and the Whale, situasi utama yang disuguhkan adalah perceraian. Film ini tidak hanya menunjukkan permasalahan suami-istri yang kemudian memicu perceraian, namun juga menjelaskan bagaimana kondisi anak-anak setelah orang tuanya bercerai, bagaimana perceraian mempengaruhi pola pikir dan bertindak mereka, bagaimana usia belia disadari menjadi usia rawan, dan didikan keluarga menjadi bagian penting.
Salah satu hal yang perlu dipikirkan berkaitan dengan perceraian adalah hak asuh anak, yang kemudian oleh film ini diangkat menjadi tagline; Joint Custody Blows. Komedi situasional yang ditampilkan dalam film ini satu di antaranya adalah ketika Bernard dan Joan juga memperebutkan hak asuh atas seekor kucing peliharaan keluarga mereka. Situasi tersebut menjadi getir bagaimana perceraian memaksa banyak hal untuk terbagi-bagi, termasuk hal sederhana seperti hewan peliharaan. Unsur humor yang digambarkan dalam kejadian tragis ditambah ketika Walt bertanya kepada ayahnya, “Dad, what will happen with the cat?” kemudian shot beralih ke arah kucing mereka yang sedang bermalas-malasan, dan tidak tahu apa-apa bahwa dirinya sedang diperebutkan.

Karakterisasi tokoh
Karakterisasi tokoh dalam film ini mayoritas digambarkan melalui pikiran dan tindakan yang dilakukan tokoh. Karakterisasi melalui percakapan tokoh lain tidak sepenuhnya dapat menggambarkan watak tokoh, karena dominasi perasaan tidak suka terhadap tokoh. Karakterisasi subjektif semacam ini tampak pada adegan ketika Walt mengatakan kepada adiknya, Frank, bahwa ibu mereka adalah seorang pembohong. Pada kenyataannya, belum tentu sang ibu adalah seorang pembohong, karena pendapat Walt dipengaruhi oleh perasaan tidak suka pada ibunya karena ia menganggap bahwa ibunya adalah penyebab perpecahan keluarga mereka.
Bernard digambarkan sebagai sosok yang arogan dan bersikap superior. Pengetahuannya yang luas menjadikannya sering menilai orang lain dan kurang memberikan toleransi pada perbedaan persepsi. Terlepas dari sisi negatif yang dimiliki, Bernard memiliki sifat penyayang. Meskipun mengetahui istrinya berselingkuh, ia berusaha untuk membujuk istrinya mencabut gugatan cerai demi keutuhan rumah tangganya.
Joan adalah sosok istri yang kurang patuh. Ia juga diketahui beberapa kali berselingkuh. Namun demikian, sisi bijaksananya sebagai seorang ibu digambarkan ketika ia menegur Bernard yang tinggal bersama Lili, mahasiswinya yang berusia 20-an tahun, padahal ia juga tinggal bersama anak laki-lakinya yang mulai beranjak dewasa. Laura Linney mampu membawakan karakter ini dengan baik. Ia berperan sebagai seorang perempuan yang tidak setia, namun pada beberapa bagian mampu membalikkan emosi penonton menjadi bersimpatik padanya, seperti ketika ia sedang bertengkar dengan Walt.
Dua karakter lain yang ditonjolkan, yakni Walt dan Frank. Walt lebih senang mengklaim ide orang sebagai miliknya untuk mendapat apresiasi, bahkan ia pernah menyanyikan lagu Pink Floyd yang berjudul Hey You dalam acara pertunjukan bakat di sekolahnya dan mengakuinya sebagai karyanya, hingga akhirnya ia mendapat masalah dengan pihak sekolah karena hal tersebut. Berbeda dengan kakaknya, Frank memilih untuk tinggal bersama ibunya karena ia hampir selalu dalam posisi disalahkan oleh ayah dan kakaknya, meskipun pada kenyataannya ia justru kurang mendapat perhatian dari ibunya yang sibuk berkencan. Di tengah kesendiriannya, ia mulai mengenal alkohol dan masturbasi.

The Squid and the Whale
Judul film ini merujuk pada diorama seekor cumi-cumi raksasa yang sedang melawan seekor paus yang berada di American Museum of Natural History. Diorama tersebut ditunjukkan pada adegan terakhir film, yakni ketika Walt mengunjungi museum. Namun demikian, tidak dijelaskan secara gamblang pemaknaan judul dan diorama tersebut.
Yang paling sederhana, bisa saja The Squid and the Whale dan kaitannya dengan diorama seekor cumi-cumi raksasa yang sedang melawan seekor paus menggambarkan konflik antara Bernard dan Joan. Lebih dalam lagi, hal tersebut juga dapat menggambarkan konflik antara Walt dan Frank pasca perceraian orang tua mereka, atau konflik internal masing-masing individu. Kemungkinan lainnya, The Squid and the Whale merujuk pada memori masa kecil Walt ketika orang tuanya belum bercerai. Hal tersebut dijelaskan pada beberapa adegan sebelumnya ketika Walt mengunjungi psikiater. Ia menceritakan pengalamannya yang menyenangkan bersama ibunya sewaktu ia masih kecil. Mereka menonton film favorit bersama, lalu mengunjungi museum. Semula ia merasa begitu takut dengan diorama cumi-cumi dan paus, namun setelah mendengarkan nasehat dari ibunya, rasa takutnya berkurang.
Meskipun tak jarang menimbulkan kebingungan, namun judul The Squid and the Whale justru memberikan ruang bagi penonton untuk memberikan interpretasi masing-masing dan tidak terpaku pada penggarap film.

Perceraian di Brooklyn
The Squid and the Whale berlatar era 1986. Di era tersebut, telepon genggam dan internet belum menjadi budaya masyarakat, sehingga komunikasi yang dilakukan masih bersifat langsung, maupun menggunakan telepon rumah sebagai satu-satunya media populer. Meski tak jarang isu perceraian dikaitkan dengan kurangnya komunikasi dalam keluarga, tetapi film ini berkata lain. Keluarga Bernard melakukan tradisi makan bersama. Dengan kata lain, keluarga Bernard masih memiliki quality time, namun perceraian tetap tidak dapat dihindari.
Dalam film ini dijelaskan bagaimana perceraian orang tua bukan lagi menjadi isu baru bagi remaja di Brooklyn, namun tetap menjadi suatu hal yang sulit dipercaya ketika melanda orang tua mereka. Hal tersebut dijelaskan dalam dialog antara Walt dengan ibunya setelah rapat keluarga di ruang tengah.
Walt        : “I can’t imagine living like this.”
Joan        : “Don’t most of your friends already have divorced parents?”
Walt        : “Yeah, but I don’t.”
Selain itu, digambarkan pula betapa bingungnya Frank mendengar kabar bahwa orang tuanya akan bercerai. Ia menangis, lalu menelepon beberapa teman terdekatnya.

Disfungsi keluarga
         Keluarga disfungsional biasanya terjadi akibat kecanduan alkohol atau obat-obatan terlarang, atau lain-lain oleh orang tua, seperti penyakit jiwa atau gangguan kepribadian orang tua, atau pengalaman keluarga orang tua yang disfungsional. Berdasarkan sebuah penelitian, sejak tahun 1960-an, di Amerika sudah banyak kasus perceraian, sehingga timbullah disfungsi keluarga yang mengakibatkan anak-anak tidak mendapat perhatian yang utuh dari kedua orang tuanya. Dengan demikian, pada masa The Squid and the Whale mengambil latar waktu, sudah banyak terjadi disfungsi keluarga dikarenakan kasus perceraian dan masalah-masalah yang ditimbulkan.
         Dalam jurnal Family Relations, dikatakan bahwa anak yang memiliki orang tua kooperatif lebih sedikit memiliki masalah perilaku dibandingkan mereka yang memiliki orang tua yang sudah berpisah. Anak-anak dengan orang tua yang sudah berpisah dijelaskan memiliki masalah dengan kepercayaan diri, kepuasan terhadap kehidupan dan sekolah, pengalaman dengan rokok, obat-obatan, maupun alkohol. Hal serupa juga ditemukan oleh para peneliti dari Pennsylvania State University yang hanya sedikit mendukung kayakinan masyarakat bahwa masih ada perceraian yang ‘baik’, yakni yang masih bersikap kooperatif dalam hal pengasuhan anak.

The Squid and the Whale arahan sutradara Noah Baumbach secara terbuka memuat situasi seksual yang melibatkan remaja dan orang dewasa, serta berbagai kata-kata kasar, namun memberikan pesan moral terutama bagi para remaja yang mengalami perceraian orang tua. Disajikan dengan faded technique oleh Robert Yeoman, sang Director of Photography, film ini terkesan penuh nostalgia. Lagu-lagu yang digunakan sebagai soundtrack pun menambah kesan 80-an.
         Meskipun mengandung pesan positif, yakni mengenai pengaruh destruktif perceraian, namun hal tersebut disampaikan dengan cara vulgar demi menjunjung nilai realisme. Hal tersebut terlihat pada konten seksual yang ditampilkan—yang meskipun tidak digambarkan secara erotis, namun kasar. Selain itu, banyak pula ditemukan kata-kata makian. Namun demikian, hal ini bukan menjadi kekurangan film ini, melainkan menjelaskan bahwa film ini menggunakan gayanya sendiri dalam memberikan visualisasi, yakni jujur, terbuka, dan apa adanya.

         Boleh saja dikatakan sudah banyak film lain yang berbicara mengenai keluarga, perceraian, single-parent, masalah remaja, namun apabila The Squid and the Whale menjadi nominasi Oscar di Academy Awards, USA dan memenangkan 19 penghargaan, seperti AFI Award di AFI Awards, USA, Directing Award  dan Waldo Salt Screenwriting Award di Sundance Film Festival, Austin Film Critics Award di Austin Film Critics Association, Best Actress di Las Palmas Film Festival, dan lain-lain, serta 27 nominasi lainnya, tentu menambah poin alasan untuk menonton film ini.

Friday, March 29, 2013

Pemutaran dan Diskusi Film bersama Fiagra!

Halo, apa kabar semua?

Kabar Kine Club Komunikasi UGM? Baik-baik saja :D

Hari Rabu (27/3) kemarin, Fiagra berkerjasama dengan Kine untuk mengadakan pemutaran dan diskusi film. Acara ini diberi nama "Skripsi" alias "Skrining Pilm dan Diskusi". Sekeren apa sih acaranya? Yuk, simak ulasan singkatnya.

Acara dibuka oleh MC pukul 19.00, dilanjutkan perkenalan yang diwakilkan oleh Ketua Fiagra dan Ketua Kine. Film pertama yang diputar adalah karya teman-teman dari Fiagra berjudul Bingkai (2012). Film berdurasi 30 menit ini juga merupakan salah satu film yang diputar dalam acara Fiagra Movie Launching (22/3) yang juga dihadiri oleh Kine. Selanjutnya, diputar dua film Kine; Bumi (2012) dan Kudung (2011).

Setelah semua film diputar, diskusi pun dimulai. Antusiasme peserta tampak dari banyaknya pertanyaan yang ditujukan kepada sutradara masing-masing film. Tidak hanya pertanyaan, berbagai bentuk apresiasi, kritik, dan saran pun dilontarkan. Sudut pandang dua bidang keilmuan dilebur dalam satu wadah media, yakni film.

Pukul 21.00 acara ditutup dengan sesi foto bersama. Puluhan peserta dengan minat dan hobi yang sama berada dalam satu frame. Dengan berakhirnya acara ini, semoga dimulai persahabatan yang semakin erat antara Fiagra dan Kine. Jangan lelah berkreasi dan tetaplah berkarya!

Thanks all!

Wednesday, November 28, 2012

Snow Flower And The Secret Fan


Salah satu negara di Asia yang patut diamati perkembangan perfilmmannya barangkali adalah China.  Sutradara Asia yang sukses di Hollywood sana rata-rata berasal dari China.  Saya menggemari film-film kolosal atau film dengan setting periode tertentu.  Itulah kenapa saya tertarik menonton film ini.  Awalnya saya kira, secara keseluruhan film ini akan bersetting China tahun 1829.  Tapi ternyata film ini menggunakan alur maju mundur. 


Nina (Li bing bing) baru saja mendapat promosi dari kantornya untuk dipindahkan ke kantor cabang mereka di New York.  Saat pesta kepndahan itu berlangsung, Sophia (Jung Ji hyun) menghubungi ponsel Nina dengan raut wajah depresi.  Saat tengah malam dan sedang tertidur, telephon Nina bordering dan seorang perawat dari rumah sakit mengabarkan bahwa Sophia mengalami kecelakaan dan sedang koma. 

Kita lalu dibawa ke China tahun 1829.  Seorang anak perempuan, Lily,  sedang menjalankan tradisi foot binding.  Sambil menangis kesakitan ia bertanya pada ibunya kapan ia bisa bermain.  Si ibu  hanya menenangkan sambil mengingatkan Lily bahwa ritual ini penting untuk bisa mendapatkan seorang suami dari keluarga berada.  Di tempat lain, snow flower, juga sedang menjalani ritual yang sama.  Mereka berdua ini nantinya akan menjadi saudara melalui sumpahLaotong.  Sumpah Laotong adalah perjanjian antar anak perempuan yang ditentukan oleh takdir untuk menjadi saudara, nantinya mereka akan saling membantu dan saling berbagi kisah satu sama lain.  Ibaratnya di saat masa-masa sulit saat menjalani foot binding, ada seseorang yang bisa diajak berbagi cerita bersama dan merasakan sakit yang sama sehingga si anak tidak terlalu menderita. 

Kita akan melihat bahwa Nina dan Lily serta Sophia dan Snow Flower memiliki wajah yang sama.  Setelah dewasa Lili yang berasal dari keluarga mikin berhasil menikah dengan seorang laki-laki dari keluarga kaya berkat kakinya yang dianggap sempurna.  Sedangkan Snow Flower bernasib kurang baik dan hanya menikah dengan seorang tukang daging miskin.  Lily dan snow flower masih berhubungan dan bertukar cerita melalui sebuah kipas dan menggunakan huruf nushu dimana huruf itu biasa dipakai oleh para perempuan sepersumpahan laotong dan hanya mereka yang memahami huruf itu.  Lily pun sesekali mengunjungi snow flower, mereka saling bercerita tentang suami dan keluarganya. 

Persaudaraan Lily dan Snow Flower mendapat banyak ganjalan dari keluarga suami Lily.  mereka menganggap Lily tidak seharusnya bergaul dengan orang msikin seperti snow Flower.  Meskipun begitu mereka berdua masih berhubungan melalui kipas yang biasa mereka gunakan.   Persaudaraan mereka yang erat dibawa hingga akhir hayat mereka, walupun mereka tidak saling bertemu.

Selama mencari tahu dimana Sophia tinggal, Nina mnelusuri kembali kenangan akan persahabatan mereka.  Bahkan dulu saat masih remaja, Nina dan Sophia menjalani sumpah laotong bersama.  Nina bahkan melepaskan kesempatannya pergi ke New York demi menebus masa-masanya yang hilang bersama Sophia.  Ia menunggui Sophia hingga sadar dan menemukan arti cinta dalam persahabatan mereka.  Seperti cinta bagi saudara satu sumpah Laotong yang dirasakan oleh Lily dan Snow Flower.  


Melalui film ini untuk pertama kalinya saya melihat bagaimana praktek foot binding yang terkenal itu.  Praktek yang menjarah hak asasi perempuan sebagai manusia.  yang memenjarakan mereka ke dalam kuasa laki-laki.  Alasan para perempuan Cina pada waktu itu menjalani ritual foot binding adalah untuk membentuuk kaki mereka menjadi kecil.  Karena kaki yang kecil menunjukkan kecantikan seorang perempuan, dengan kaki yang kecil mereka bisa mendapatkan seorang suami dari keluarga kaya.  Mendapatkan suami dari keluarga kaya berarti mendapatkan jaminan kesejahteraan dan peningkatan derajat seumur hidup. 


Melaui film ini juga kita bisa melihat penjajahan terhadap kaum perempuan pada jaman dulu di luar Indonesia.  Yang saya pikir lebih mengerikan yang terjadi di Cina adalah tidak hanya secara batin dan martabat, perempuan bahkan tidak merdeka atas tubuh mereka sendiri.  Memberontak pun pasti tidak mungkin, kalau saya ada di jaman itu mungkin saya juga akan pasrah dan tidak akan memberontak.  Mengingat harkat dan martabat keluarga serta kesejahteraan kedua orang tua saya yang akan ikut terangkat jika bisa mendapatkan suami yang kaya. 

Melalui sumpah Laotong yang diucapkan antar perempuan yang tidak saling mengenal yang kemudian menjadi saudara satu sependeritaan.  Rasa sakit itu berubah menjadi cinta.  Cinta itu bisa sangat luas sekali kan? Bahkan cinta antar sesame perempuan dalam ikatan persaudaraan itu juga bisa disebut cinta.  Nina/lily dan Sophia/snow Flower menemukan cinta terdalam mereka melalui hubungan persahabatan/persaudaraan mereka.  Saya menemukan satu hal setelah menonton film ini, cinta sejati bisa kita temui dengan orang yang merasakan dan menjalani penderitaan yang sama dengan kita. 

Jadi, kalau kalianmerasa cinta mati dengan seseorang, ada baiknya kalian bertanya lagi pada diri sendiri.  Dia kah cinta sejatimu?  bisa jadi cinta sejatimu itu orang lain.

Buat yang suka film sejarah, film ini saya nilai 9 dari 10.  Buat yang udah pernah nonton film Maid in Manhattan nya J-Lo film ini disutradarai oleh sutradara yang sama.

Sutradara : Wayne Wang
Pemain :Jung Ji Hyun, Li Bing Bing
Release : 15 July 2011
Negara : China & USA
Budget : $6.000.000
Box Office : $11, 348, 205

Monday, November 26, 2012

Press Pause Play


 "Digital Revolution, Mediocrity, and Democracy"

“slap up their rare  stuff on  facebook, on  youtube, we get lost, we get lost in the ocean of garbage” – Andrew Keen, Press Pause Play

Pertama kali berkenalan dengan film ini adalah ketika saya iseng mengunjungi screening film ini yang diadakan dalam acara Indonesia Netlabel Festival 2012 (INF).  Dari ketidak puasan menonton dalam ruang yang besar dengan banyak orang dan film ini tidak dilengkapi dengan subtitle berbahasa Indonesia maupun Inggris yang  membuat saya agak sulit untuk memahami isinya, saya lalu meminta film ini kepada salah satu panitia untuk dikopi ke dalam flashdisk, dan mencoba memutar film ini secara personal di kamar saya. Butuh berkali-kali menonton bagi saya untuk memahami isi dari film ini karena keterbatasan saya terhadap bahasa.

Ide dasar pada film ini menurut saya sangat menarik, mengingat bahwa ide yang diusung sangat dekat dengan kehidupan kita sekarang, “digital revolution” begitulah dalam film ini disebutkan. Film ini mencoba untuk merekam dan memberikan berbagai prespektif tentang revolusi digital itu sendiri. Bagaimana implikasinya terhadap kehidupan kita terutama dalam hal industri kreatif (musik, film, iklan, desain grafis, dsb). Dalam film ini kita diajak untuk menyelami bagaimana revolusi digital tersebut telah mengubah prespektif masyarakat dalam melihat karya dan proses kreatif. “In older days, twenty until fifty years ago, people didn’t  make a things, so people go to photography, people go buy records and they’re professional artist. Now everyone is photographer, everyone is film maker, everyone is writer, and everybody is musician” begitulah kata moby seorang artis yang diwawancarai di dalam film ini.


Film ini memberikan pandangan yang menurut saya cukup mendalam dan berimbang. Film ini menghadirkan berbagai narasumber dimulai dari jurnalis, artis, penulis, produser musik, komposer, film maker, hingga dosen. Tidak hanya itu mereka (si pembuat film) mencoba menampilkan bahwa revolusi digital telah terjadi dimana saja dengan berkunjung ke berbagai negara di belahan dunia. Kelemahan yang biasa saya temukan pada film dokumenter adalah visual yang terkadang membosankan (meskipun idenya sangat menarik), namun saya tidak menemukan hal tersebut disini. Film ini memadukan antara animasi, pengambilan gambar, dan backsound yang membuat saya duduk manis untuk tetap menontonnya.

Film ini terbagi dari beberapa bagian, yaitu “The Technology Is Great”, “The Industry Is Dead”, “Artist Have The Power”, dan “The Craft Is Gone”. Pada bagian pertama membahas tentang bagaimana teknologi berimplikasi besar terhadap digitalisasi, teknologi telah mengubah pola kerja kreatif dengan mempermudah dan mempersingkatnya yang kemudian berdampak pada matinya industri, karena semua orang sudah dapat memproduksinya sendiri. Dibagian kedua menunjukkan dampak dari digitalisasi dan pengaruhnya terhadap industri kreatif. Dibagian ketiga menunjukkan bagaimana seorang artis dapat mempengaruhi audiens dan digitalisasi telah mempermudah langkah tersebut. Di bagian terakhir menunjukkan bahwa revolusi digital telah mematikan proses-proses pengetahuan dalam proses kreatif, “one of fascinating aspect of digital revolution on creative process is how its separated two and extend knowledge of craft and creativity, you know its like to be a good photographer you had to know how developed your film then print your own film and you had understand how camera works, and now that doesn’t matter” begitulah cuplikan wawancara dalam bagian ini.

Di film ini bagi saya pribadi telah menarik lebih dalam untuk tidak hanya kemudian melihat bahwa revolusi digital adalah sebagai sesuatu yang “wah” atau sebagai sesuatu yang “perlu”, namun sebagai sesuatu yang perlu diwaspadai dan dikritisi. Digitalisasi telah mewadahi demokrasi lebih baik, dimana membuat dan menyatakan sebuah gagasan menjadi lebih terbuka dan dapat diadopsi oleh siapapun. digitalisasi telah menguak cara-cara lama dalam proses yang singkat. Namun di sisi lain digitalisasi telah membawa bola liar sebuah “mediocrity” dalam industri kreatif terutama. “if everybody is musician and everybody making mediocre music and advancely the world covered by mediocrity and people start comfortable with mediocrity” begitulah salah seorang narasumber dari film ini mengatakan. Ya mau tak mau nampaknya kita harus mengamini hal ini.

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwasanya di era digital memang mempermudah langkah kita dalam mencipta, namun ada beberapa yang harus diperhatikan bahwa apakah benar karya kita sudah benar-benar pantas untuk ditampilkan di hadapan publik yang sekarang lebih luas karena jaringan internet atau jangan-jangan kita terbuai dengan karya yang sebenarnya “biasa-biasa” saja. Bagi saya sendiri hanyalah waktu yang dapat mengungkapkannya, karena keseriusan itu benar-benar membutuhkan waktu yang tidak sedikit, setidaknya menurut saya.

Tittle : Press Pause Play
Genre : Documentary
Directror : David Dworsky and Victor Kohler
Duration : 80.48 minute
website : presspauseplay.com


Bisma Hakim
Komunikasi 2010

Wednesday, November 21, 2012

The Secret of Kells



 

"Pangur Ban, Pangur Ban ... You must go where i cannot ... " Aisling in The Secret of Kells

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk teman-teman Kine yang dengan rendah hati mau menghidupkan blog ini lagi. Saya bukan anggota Kine dan tentu saja, saya tidak tahu seluk beluk film sedalam teman-teman semua (oh ya, belum lagi saya adalah angkatan tua 2008). Saya anggap tulisan ini sebagai sebuah pengingat pertemanan mengingat blog ini adalah 'teman dekat' yang dulu sering saya baca ketika Kine masih dipegang April, saat saya masih pertama kali belajar menulis lewat blog. Dua tahun tak bertemu, saya rasa sebuah sumbangan tulisan tak ada salahnya. Dan hei, siapa tahu ada teman-teman lain yang akhirnya getol melihat parahnya tulisan saya tentang film sehingga mau meramaikan blog ini lagi.

Saya harus berterima kasih pada keseloan kemarin malam yang akhirnya mempertemukan saya dengan sebuah film yang menurut saya pribadi, adalah salah satu film animasi terbaik yang pernah saya tonton. The Secret of Kells, sebuah film animasi Prancis besutan sutradara Tomm Moore. Film yang merupakan hasil kerjasama antara pemerintah Belgia, Prancis, dan Irlandia ini merupakan hasil rumah produksi animasi terbaik Irlandia, Cartoon Saloon. Film ini telah mememenangkan berbagai penghargaan bergengsi, salah satunya dinominasikan sebagai film animasi terbaik di Golden Globe Award tahun 2010. 



Bersetting di Irlandia kuno saat kristen pertama kali hadir di tanah celtic, kita akan diajak untuk mengikuti petualangan si rahib cilik Brendan dan petualangannya untuk berhasil menyelesaikan buku ajaib The Book of Iona, sebuah buku yang dikatakan mampu mengubah kegelapan menjadi cahaya. Petualangan Brendan menjadi penuh warna saat si rahib kecil ini keluar benteng untuk pertama kalinya dan bertemu Aisling, peri kecil penguasa hutan yang mampu merubah diri menjadi serigala putih. Brendan dengan gigih terus berusaha menyelesaikan the Book of Iona untuk dapat menyelamatkan tanah Irlandia dari serangan Northmen yang haus darah dan emas dengan dibantu oleh brother Aidan yang ceria, Aisling yang misterius, dan si kucing putih Pangur Ban yang arogan.


The Secret of Kells adalah sebuah film animasi yang unik dan 'berbeda'. Dirilis tahun 2009, film ini tidak menggunakan teknologi animasi 3D, juga tidak menampilkan adegan yang spektakuler seperti yang sering kita lihat di film-film animasi kebanyakan saat ini. Menonton The Secret of Kells membuat kita teringat dengan film-film kartun Nicklodeon yang sering kita tonton sepulang sekolah dulu, atau bahkan mengingatkan kita dengan buku cerita bergambar Fabel Aesop. Sekilas film ini nampak sederhana atau bahkan terlalu klasik. Tapi hanya dengan menonton 3 menit film ini di awal saya sudah langsung jatuh cinta dengan scriptnya, lewat bisikan Aisling yang memulai cerita tentang Kells dan buku ajaibnya. Dan memang benar, film ini lebih tepat kalau disebut sebagai sebuah work of art.



Salah satu kekuatan utama dari The Secret of Kells menurut saya adalah dari sisi art directing. Film ini menampilkan visual yang unik. The Secret of Kells berhasil membuat perpaduan cantik antara gaya buku bergambar anak-anak yang sederhana, kental dengan sentuhan cat air bertemu dengan gaya art nouvou yang detail dan rumit seperti yang tampil pada manuskrip-manuskrip kristen awal. Simple, yet complicated. Seperti gabungan antara buku cerita Where the Wild Things Are yang dipadukan dengan seni kristen celtic kuno. Hasinya adalah sebuah penampilan visual yang cantik dan berbeda. 

Yang kedua adalah dari tema cerita. The Secret of Kells bertema tentang peristiwa Irlandia kuno saat kristen pertama kali datang dan berusaha bertahan dari serangan para perompak Viking (atau yang dikenal dengan Northmen). The Secret of Kells adalah sebuah alegori raksasa, bercerita tentang mitologi Irlandia yang dibalut dengan tema kristiani yang well, tidak terlalu kental juga tidak terlalu manis. Sayangnya memang harus diakui jalan cerita keseluruhan cerita ini terkesan sedikit datar. Namun harus diakui bahwa kekuatan utama dari film ini adalah dari sisi musiknya. Bruno Coulais sang music director telah berhasil memberikan jiwa pada film ini lewat aransemen musiknya. Gaya musik celtic kuno disusun cantik dan ditata pas untuk setiap adegan. Untuk hal yang saya sendiri tak bisa mengerti, saya merinding ketika mendengarkan Aisling menyanyi untuk mengubah sang kucing Pangur Ban menjadi bayangan guna membebaskan Brendan dari penjaranya di menara. Ada kesan mistis dan religius yang susah dingkapkan dari musik-musik yang dihadirkan di film ini.

Jika ada waktu, pertimbangkanlah untuk menonton film ini. Salah satu pelajaran yang bisa saya dapat dari film ini adalah ternyata bisa memadukan sebuah tema agama dengan seni dan animasi, dengan hasil yang bukan saja menyentuh tapi juga mengagumkan. Terima kasih sudah menyempatkan membaca tulisan saya ini :) 


- Angga Prawadika -
www.gangstamonsta.blogspot.com